Seghimol

Seghimol
'Seghimol' dalam bahasa Lampung yang berarti Srigala. Hewan ini ternyata juga hidup di Lampung, dan menjadi musuh warga yang peternak ayam atau unggas lainnya. Tapi seghimol juga menjadi hewan penjaga yang sangat berani. Asal jangan jadi 'Seghimol Bukawai Napuh'

Sabtu, 09 Mei 2009

Nyanyian Nelayan di Teluk Kiluan


DI atas batu pualam uncuk Pulau Kiluan, nginong 'sang ghani' ghegah-bindom di batas lawok lepas...

Di pulau batu sebeghang bughung melayang mulang, ngighing gelombang ghatong di pantai pulau...

Nibung, Lemadang bandang nyungsung jukung nelayan lapah busepo'an ...

Singgah di pulau Kiluan, laju mulang mit pantai sebeghang ngitung hasil guwaian...

(Dari atas batu pualam di ujung Pulau Kiluan, menyelami matahari tenggelam di batas air laut. Di pulau batu seberang, burung terbang pulang beriringan dengan gelombang yang menghempas di pantai. Ikan nibung dan lemadang pun mulai menyongsong perahu nelayan mencari ikan. Esoknya mampir sebentar di pulau kiluan, terus pulang ke pantai di teluk seberang untuk menghitung hasilnya melaut tadi malam).

Bait sajak di atas sangat pas untuk memberikan gambaran keseharian aktivitas di Pulau Kiluan Jaya, Teluk Kiluan, Pekon Negeri Kelumbayan, Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus. Saat sore menjelang, dari pantai barat pulau yang penuh dengan bebatuan, keindahan sunset bisa dilihat. Matahari yang seakan tenggelam ke dasar lautan itu terbayang di antara pohon dan gubuk di deretan pulau kecil seberang Kiluan.

Pesona sunset tersebut merupakan salah satu potensi wisata dari pulau seluas lima hektare di dalam teluk itu. Di pantai sebelah barat yang langsung menghadap ke laut lepas itu, pesona tersebut ditambah dengan deru ombak besar yang menghantam bebatuan di pantai. Untuk mencapai atas dengan mendaki bebatuan dari kawasan dalam pulau atau juga menyusuri jejeran batu cadas di pantai sebelah barat pulau itu.

Belum lagi di pantai sebelah timur yang landai dengan ombak tak begitu besar karena menghadap ke teluk. Di pantai itu masyarakat banyak singgah untuk bertransaksi hasil tangkapan kail dan jaringnya. Mulai dari ikan lemadang, nibung, layaran, tongkol, tongkol-tenggiri (tongri), tongkol-layang (tongyang) dan tuna ditransaksikan para nelayan dengan ulele (pedagang pengumpul, red) setempat.

"Siang sampai sore ulele itu langsung berangkat ke pelelangan ikan di Tanjungputus atau di Lempasing, Pak," kata Bahrun, salah seorang nelayan setempat.

Selain potensi wisata keindahan alamnya, Pulau Kiluan juga dapat dijadikan lokasi penelitian. Sebab, di pulau yang banyak ditumbuhi macam tanaman seperti pohon waru, bakau, kelapa dan bambu ternyata memiliki batuan jenis vulkanik. Batu yang tersebar di kawasan pulau dan Teluk Kiluan itu diduga berasal dari letusan gunung berapi.

Namun, pesona yang ditawarkan kawasan Pulau Kiluan Jaya itu, hingga kini belum begitu tergarap. Pasalnya, kawasan pulau yang hanya berjarak tempuh empat jam melalui laut dari Dermaga Puri Gading, Telukbetung Barat, belum dikenal banyak kalangan. Mungkin karena infrastruktur yang dibangun di kawasan tersebut memang sangat kurang. Sehingga kawasan tersebut hingga kini masih menjadi daerah terisolasi. Bahkan, untuk mencapai kawasan itu melalui jalur darat pun hanya dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua. Memang dapat ditempuh dengan menggunakan mobil, tetapi hanya sampai batas daerah Bawang, setelah itu naik sepeda motor untuk ke Kiluan yang berada di balik Bukit Bawang. "Kalau naik angkot bisa dari Cimeng, Telukbetung Barat, sampai ke Bawang dengan ongkos Rp20 ribu dan dilanjutkan naik ojek ke sini juga dengan ongkos Rp20 ribu," kata salah seorang aktivis lingkungan Yayasan Cinta Kepada Alam (Cikal) Lampung, Bang Yeye.

Dengan kondisi demikian, selain sempitnya ruang publikasi juga akses ekonomi masyarakat sekitar menjadi terganggu. Padahal di daerah tersebut banyak sekali potensi pertanian dan perikanan yang bahkan dapat menjadi unggulan sumber devisa daerah. Untuk hasil pertanian daerah tersebut masih menghasilkan padi, kelapa, kopi, dan cokelat yang terus berproduksi. Selain potensi ekowisata yang sama sekali belum tersentuh promosi ke dunia luar.

Yayasan Cikal merupakan salah satu institusi yang peduli dengan kondisi kawasan tersebut. Terutama berawal dari mirisnya keberadaan habitat lumba-lumba atau dolfin yang berkembang biak di kawasan perairan sekitar Teluk Kiluan. Juga keberadaan penyu yang memilih pantai Teluk Baru sebagai tempat bertelur dan beranak pinak.

Di pulau yang dihuni satu keluarga itu, institusi nirlaba Cikal mulai menggarap seluruh potensi yang ada. Bersama keluarga, Solihin menetap di rumah panggung dari bahan kayu, menikmati keseharian aktivitas warga Kiluan. Yayasan Cikal terus mencari celah untuk mengembangkan potensi wisata alam di sana, sembari terus mendatangkan bantuan pembangunan bagi infrastruktur daerah tersebut.

Medio Agustus 2006, Yayasan Cikal mulai melakukan gebrakan dengan mengadakan acara Kiluan Fishing Week (KFW). Selain melakukan lomba mancing di laut, juga dilakukan acara tracking Pulau Kiluan, Teluk Baru, dan Karang Gebros. Juga dilaksanakan Dolfin Tour untuk melihat secara langsung keberadaan lumba-lumba yang beranak pinak di sekitar kawasan tersebut.

Wartawan Lampung Post Mustaan dan fotografer Zukri Fahmi turut serta mengelilingi pulau tersebut dan melihat tenggelamnya matahari dari sebelah barat pulau. Berjalan kaki menyusuri pantai menjadi salah satu suguhan wisata alam untuk melihat keindahan batuan vulkanik karang dan hewan pantai di pulau itu. Juga melihat berbagai jenis tanaman yang dapat hidup dan berbuah di sana.

Pada kedua sisi pantai di pulau itu, para peserta dapat melihat kejadian yang berbeda. Misalnya, pada sisi pantai yang memanjang dari selatan ke tenggara sampai timur di pulau itu, karakteristik pantai yang landai dengan ombak kecil. Sementara di sisi sebaliknya mulai barat ke barat laut sampai utara dengan pantai yang dipenuhi batuan terjal, ombak menderu lebih kencang.

"Di sebelah barat ini pantainya langsung menghadap laut lepas sementara di selatan sana pantainya masih ditutupi berbagai pulau batu, jadi ombaknya tertahan di pulau itu," kata Yeye.

Sementara itu, pesona alam juga terlihat di daratan seberang Pulau Kiluan, jejeran Teluk Kiluan yang memutari pulau itu. Pohon kelapa berdiri memanjang di atas pasir putih yang membentang di landainya pantai. Satu dua terlihat pohon bakau yang tampak seperti ragu menurunkan akarnya ke air laut di bawahnya.

Menurut Rico, di daratan seberang itu nantinya dibuat desa percontohan ekowisata binaan Yayasan Cikal. Kini, dengan bantuan Pemprov Lampung, yayasannya membuat sumur bor yang terpancang di Pedukuhan Banding. "Kami terus memberikan pengertian ke masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian alam walaupun beberapa potensi komoditas dapat diambil hasilnya," katanya.

Jumat, 08 Mei 2009

Si Kacung

Suatu hari, seorang majikan memanggil kacung di ruang keluarga rumahnya. Majikan harus menegaskan bahwa kacung harus keluar dari rumahnya, tetapi disiasati dengan kata-kata yang bijak. "Kamu tidak bisa menjadi bagian dari keluarga, sebab kamu tidak pandai baca-tulis," kata majikan. "Mengapa begitu? Saya sudah mengabdi sekian lama, masa tidak ada pertimbangan. Apalagi, saya memang tahu dan seneng banget dengan keluarga ini," jawab kacung. "Kamu harus punya ijazah kursus baca-tulis, tak perlu bisa baca-tulisnya," timpal majikan.

Dengan gontai kacung keluar dari ruang, pikirannya menerawang mencari-cari cara dapat bertahan pada pekerjannya. Walaupun hasil dari pekerjaan kacung itu harus dapat di-manage-nya agar dapat menghidupi keluarga.

Hasil yang sewajarnya dapat digunakan untuk dua pekan, harus "diolah" agar bisa bertahan sampai satu bulan. "Ini harus dapat "diolah" lagi supaya bisa disisihkan untuknya kursus baca-tulis," pikirnya. Dan, kacung pun terlelap di kursi panjang yang terpajang di tengah taman samping rumah majikannya.

Wah... bakal jadi kacung abadi yang kerjanya hanya disuruh sana sini, tanpa bisa memberi solusi pada setiap kejadian yang menimpa rumah majikannya. Padahal, kacung merasa kalau untuk pemikiran tidak kalah dengan anak-anak angkat majikannya yang juga beberapa ada yang tidak bisa baca-tulis. Kacung tahu betul bagaimana cara kerja agar keluarga majikannya terasa nyaman dan terpandang di daerah itu.

"Ini memang kesepakatan antara kakek, nenek, istri, dan saya, bahwa anggota keluarga sekarang harus bisa baca-tulis. Biar kita terlihat "hebat" oleh Pak RT, Pak RW, dan Pak Lurah. Tenang, keluarga kami akan membantu biaya kursus kamu," kata majikan.

Mulailah kacung bertanya ke sana ke mari, untuk mencari tempat kursus yang bagus. Banyak kawan-kawan kacung dari rumah tetangga majikannya yang memberi informasi. Di Kursus "ABC" bisa mengeluarkan ijazah kursus tanpa harus kursus, di Kursus "DEF" bisa membuatkan ijazah tapi bentuknya fotokopi, dan Kursus "GHI" harus benar-benar tahu baca-tulis. Tapi, semuanya memang harus ada biayanya, besarnya sebanding dengan 10 tahun gaji kacung, ada juga yang lima tahun gajinya.

Tapi tenang saja, pikir kacung. Karena biaya kursus yang manapun akan dibantu oleh keluarga majikannya. Yang penting dia dapat ijazah, jadi keluarga majikan dan "niat baiknya" untuk membantu lebih dari sekadar suruhan saja dapat tercapai. Semua berkas pendaftaran dari tempat kursus dikumpulkannya dan ditimbang mana kira-kira yang bakal menjadi tempatnya mendapat ijazah. Tapi.....

"Hey Kuncung, bangun!!!!" Begitu teriak majikan perempuannya. Dengan mata merah padam, sang majikan perempuan itu berteriak bahwa keluarganya tidak akan membantu seorang kacung. Karena hanya anggota keluarga yang tidak bisa baca-tulis saja yang akan di biayai kursus. "Dan, kamu saya kutuk selamanya menjadi "kacung"," ujar majikan.

Begitulah kisah awal mula mengapa orang yang disuruh ke sana ke mari dan tidak bisa baca-tulis disebut "kacung". Untuk sebutan-sebutan lainnya mungkin dengan kisah seperti itu, sebutan wartawan juga berawal dari seorang "juru lapor" yang mungkin juga tidak bisa baca-tulis bernama "wartawan". Akhirnya, seorang wartawan agar dia menjadi redaktur atau pekerjaan lain harus punya ijazah baca-tulis. n MUSTAAN

Kamis, 07 Mei 2009

LIDAH


"LIDAH itu bagian kepala yang paling enak dimakan. Apalagi lidah sapi." Begitu kata Kacung kepada temannya, Inem, babu tetangga sebelah majikan. "Tapi hati-hati kalau disajikan orang lidah komodo atau ular. Bisa tetanus berkepanjangan," lanjutnya.

"Iya. Saya juga suka sekali kok dengan lidah buaya. Selain bisa menghaluskan rambut, juga mengobati panas dalam," jawab Inem.

"Hus... itu beda geh. Kalau buaya itu bukan lidahnya yang dikonsumsi orang tapi tangkur buaya. Biar kuat," kata Kacung sembari matanya berkedip-kedip ke arah Inem.

Ngobrol dengan Inem tentang lidah membuat Kacung ingat mandornya saat kerja bangunan yang suka menjulur-julurkan lidah, Abas. Suatu saat Kacung pernah dibentak Sang Mandor. "Hei Kacung, apa kerjaan kamu. Bangunan ini tak berdiri-diri kalau kamu istirahat terus, kan saya nanti yang bakal ditegur," entak mandor itu.

"Maaf bos, saya masih makan siang dan mau ngaso sebentar," jawab Kacung.

"Nggak bisa gitu. Kamu harus ingat lidah saya ini mujarab ke bos, jadi kamu harus ikuti perintah saya. Saya ini kan atasan kamu. Jangan banyak alasan," kata mandor.

"Oke bos," kata Kacung sembari melengos.

Dan karena lidahnya sendiri pula sang mandor kemudian dipecat oleh pemborong bangunan itu.

***

Menanggapi rekasi lidah Kacung, Inem mempunyai pendapat lain. "Saya juga ingat rambut saya mengilat kembali setelah diberi lidah buaya." Karena dorongan "lidah" majikan supaya saya pakai lidah buaya, akhirnya saya terpilih lagi jadi Ketua Forum Babu Nyentrik (FBN).

Suatu saat Inem ditegur majikannya.

"Nem, mengapa rambut kamu kusam. Coba kalau kamu pakai lidah buaya, pasti mengilat," kata majikannya.

"Iya nyah (panggilan babu pada majikan)," kata Inem.

Akhirnya setelah intervensi majikan agar memakai lidah buaya, rambut Inem kembali segar. Dan pada pemilihan ketua organisasinya, para babu lain terkesima hatinya dan kembali memilih Inem sebagai calon tunggal.

***

Lidah memang tak bertulang. Maka jika bereaksi akan langsung terasa efeknya, sampai ke otak maupun ke hati. Sangat wajar jika calon penguasa memanfaatkan lidahnya dengan cara mereaksikan sesuai kondisi. Tak heran kalau musim pemilu ini seluruh penjuru dipenuhi "juluran lidah" yang direaksikan ke otak atau hati roang banyak. Tak ada maksud lain, kecuali agar harapannya merasuk ke dalam otak dan hati sehingga tangan orang mau mencontengnya.

"Ingat Bapak-Bapak, kalau saya terpilih nanti, pokoknya semuanya beres. Apa pun keluhan bapak-bapak akan saya perjuangkan nantinya," begitu silat lidah calon penguasa.

Tapi saat menghadapi bawahannya, calon penguasa menggunakan lidahnya dengan nada berbeda. "Ingat kalau kalian tidak bisa menggerakkan orang untuk menconteng, akan tahu akibatnya. Dan juga kembalikan, apa yang sudah saya beri!!!." Silat lidah calon penguasa kali ini menggunakan jurus kuncian yang mematikan.

Ya memang lidah itu adalah obat mujarab. Jika digunakan untuk kebaikan, kemujarabannya bisa mengangkat derajat. Tapi karena lidah juga, derajat seseorang akan turun. Subhanallah n MUSTAAN

Halaman